DEFISIT PENELITI INDONESIA
Bagaimana Threshold Fallacy & Dunning–Kruger Effect Membajak Nalar Publik
Threshold Fallacy
Ini salah satu kekeliruan paling umum: mengira sesuatu “sudah banyak” atau “sudah cukup” hanya karena ada jumlahnya, padahal masih jauh di bawah critical mass yang dibutuhkan.
Contoh: “Indonesia sudah punya riset kok.” Benar, punya.
Tapi jumlah peneliti kita hanya 395 per satu juta penduduk. Korea Selatan? 9.435. Selisihnya hampir 25 kali lipat. Itu bukan gap. Itu jurang intelektual.
Begitu juga kalimat: “Indonesia banyak atau tidak kurang orang pintar.” Pertanyaannya: banyak dibanding apa? Kata banyak itu relatif. Lima dari 10 itu banyak. Lima dari 500? Hanya 1%.
Mari kita lihat angka sebenarnya.
Kalau “pintar” = lulusan S1, itu hanya 9% angkatan kerja Indonesia.
Kalau “pintar” = lulusan PT berkualitas nasional, itu sekitar 4%.
Kalau “pintar” = lulusan PT elite nasional, kira-kira 1-2%.
Apakah 1–2% itu banyak? Jika kebutuhan nasional hanya 5%, mungkin masih lumayan.
Tapi jika kita butuh 20% SDM unggul untuk transformasi bangsa? Angka itu amat kecil.
Jika pendidikan S3 kriteria “pintar”, Indonesia hanya 0,026% penduduk bergelar S3. Korea Selatan: 0,61%. Amerika Serikat: 1,14%. Kita tertinggal 20–40 kali lipat.
Dalam konteks global, karena kualitas PT kita masih jauh dari kelas dunia, maka kapasitas efektif lulusan “elite” itu bisa hanya 0,1–0,5%. Angka tersebut amat jauh dari banyak.
Kenapa keliru berpikir ini berbahaya?
Karena kebijakan yang baik hanya lahir dari diagnosis diri yang jujur. Jika kita terus hidup dalam anggapan “kita sudah punya banyak orang pintar,” kita berhenti membangun diri dan sibuk mencari kambing hitam.
Faktanya terlihat dari hasil tes PISA: selama 22 tahun terakhir tes tersebut, kurang dari 1% siswa Indonesia mencapai level global membaca, matematika, dan sains. Itu bukan potret anak-anak. Itu cermin kualitas manusia dewasanya juga. Bahkan lebih buruk karena kualitas pendidikan tinggi belum tentu lebih baik.
Jadi mari jujur: Indonesia sangat kekurangan SDM berkelas global. Bukan karena orang Indonesia pada hakikatnya bodoh atau tidak mampu, tetapi karena sistem pendidikan kita belum membentuk kapasitas mereka ke kualitas global dan dalam jumlah memadai.
Inilah tugas maha besar dan maha mendesak kita: transformasi total, dari SD sampai perguruan tinggi.
Sampai itu belum terwujud, kalimat “Indonesia tidak kekurangan orang pintar” sebaiknya dipensiunkan.
The Dunning–Kruger Effect
Istilah ini berasal dari penelitian psikolog David Dunning dan Justin Kruger pada 1999. Mereka menemukan bahwa orang berkemampuan rendah tidak hanya banyak salah, tetapi tidak mampu menyadari bahwa mereka tidak kompeten—dan karena itu justru merasa paling benar.
Dengan kapasitas kompetensi nasional hanya 0,1–0,5%, bayangkan seberapa luas efek ini menjalar.
Fenomena ini halus, tetapi cukup merusak. Ada isu politik? Semua tiba-tiba jadi political analyst.
Ada isu ekonomi? Muncul komentar-komentar publik yang merasa lebih paham daripada ekonom yang menempuh pelatihan PhD 6–10 tahun di AS/Eropa. Bahkan ada yang merasa “ekonom” hanya karena pernah belajar sedikit Ilmu Ekonomi dasar.
Efek Dunning–Kruger memproduksi kerusakan berlapis:
• meremehkan profesi,
• melecehkan kerja ilmiah,
• menciptakan budaya anti-keahlian,
• mengaburkan arti kata “pakar”,
• dan yang paling fatal: kebijakan publik dibuat berdasarkan opini, bukan kompetensi.
Di Amerika, kata economist hampir selalu berarti PhD-trained economist.
Di Indonesia, sepertinya siapa pun bisa memakainya sebagai label.
Bayangkan logika ini diterapkan pada kedokteran: semua orang merasa “dokter” hanya karena pernah belajar biologi dasar. Itu bukan sekadar keliru. Itu berbahaya.
Selain kualitas pendidikan yang masih rendah, masalah kita adalah kurangnya kerendahan hati untuk belajar dan ketidakmampuan menyadari apa yang sesungguhnya tidak kita ketahui.
Dua kekeliruan berpikir di atas melahirkan kebijakan pembangunan yang keliru sekaligus eksekusi kebijakan yang salah arah. Dan ketika pola pikir keliru diproduksi terus-menerus, ia berubah menjadi budaya. Pada titik itu, kesalahan bukan lagi insiden, tetapi sistem. Dan sistem yang keliru secara mendasar tidak pernah menghasilkan bangsa yang maju.
Bagaimana Threshold Fallacy & Dunning–Kruger Effect Membajak Nalar Publik
Threshold Fallacy
Ini salah satu kekeliruan paling umum: mengira sesuatu “sudah banyak” atau “sudah cukup” hanya karena ada jumlahnya, padahal masih jauh di bawah critical mass yang dibutuhkan.
Contoh: “Indonesia sudah punya riset kok.” Benar, punya.
Tapi jumlah peneliti kita hanya 395 per satu juta penduduk. Korea Selatan? 9.435. Selisihnya hampir 25 kali lipat. Itu bukan gap. Itu jurang intelektual.
Begitu juga kalimat: “Indonesia banyak atau tidak kurang orang pintar.” Pertanyaannya: banyak dibanding apa? Kata banyak itu relatif. Lima dari 10 itu banyak. Lima dari 500? Hanya 1%.
Mari kita lihat angka sebenarnya.
Kalau “pintar” = lulusan S1, itu hanya 9% angkatan kerja Indonesia.
Kalau “pintar” = lulusan PT berkualitas nasional, itu sekitar 4%.
Kalau “pintar” = lulusan PT elite nasional, kira-kira 1-2%.
Apakah 1–2% itu banyak? Jika kebutuhan nasional hanya 5%, mungkin masih lumayan.
Tapi jika kita butuh 20% SDM unggul untuk transformasi bangsa? Angka itu amat kecil.
Jika pendidikan S3 kriteria “pintar”, Indonesia hanya 0,026% penduduk bergelar S3. Korea Selatan: 0,61%. Amerika Serikat: 1,14%. Kita tertinggal 20–40 kali lipat.
Dalam konteks global, karena kualitas PT kita masih jauh dari kelas dunia, maka kapasitas efektif lulusan “elite” itu bisa hanya 0,1–0,5%. Angka tersebut amat jauh dari banyak.
Kenapa keliru berpikir ini berbahaya?
Karena kebijakan yang baik hanya lahir dari diagnosis diri yang jujur. Jika kita terus hidup dalam anggapan “kita sudah punya banyak orang pintar,” kita berhenti membangun diri dan sibuk mencari kambing hitam.
Faktanya terlihat dari hasil tes PISA: selama 22 tahun terakhir tes tersebut, kurang dari 1% siswa Indonesia mencapai level global membaca, matematika, dan sains. Itu bukan potret anak-anak. Itu cermin kualitas manusia dewasanya juga. Bahkan lebih buruk karena kualitas pendidikan tinggi belum tentu lebih baik.
Jadi mari jujur: Indonesia sangat kekurangan SDM berkelas global. Bukan karena orang Indonesia pada hakikatnya bodoh atau tidak mampu, tetapi karena sistem pendidikan kita belum membentuk kapasitas mereka ke kualitas global dan dalam jumlah memadai.
Inilah tugas maha besar dan maha mendesak kita: transformasi total, dari SD sampai perguruan tinggi.
Sampai itu belum terwujud, kalimat “Indonesia tidak kekurangan orang pintar” sebaiknya dipensiunkan.
The Dunning–Kruger Effect
Istilah ini berasal dari penelitian psikolog David Dunning dan Justin Kruger pada 1999. Mereka menemukan bahwa orang berkemampuan rendah tidak hanya banyak salah, tetapi tidak mampu menyadari bahwa mereka tidak kompeten—dan karena itu justru merasa paling benar.
Dengan kapasitas kompetensi nasional hanya 0,1–0,5%, bayangkan seberapa luas efek ini menjalar.
Fenomena ini halus, tetapi cukup merusak. Ada isu politik? Semua tiba-tiba jadi political analyst.
Ada isu ekonomi? Muncul komentar-komentar publik yang merasa lebih paham daripada ekonom yang menempuh pelatihan PhD 6–10 tahun di AS/Eropa. Bahkan ada yang merasa “ekonom” hanya karena pernah belajar sedikit Ilmu Ekonomi dasar.
Efek Dunning–Kruger memproduksi kerusakan berlapis:
• meremehkan profesi,
• melecehkan kerja ilmiah,
• menciptakan budaya anti-keahlian,
• mengaburkan arti kata “pakar”,
• dan yang paling fatal: kebijakan publik dibuat berdasarkan opini, bukan kompetensi.
Di Amerika, kata economist hampir selalu berarti PhD-trained economist.
Di Indonesia, sepertinya siapa pun bisa memakainya sebagai label.
Bayangkan logika ini diterapkan pada kedokteran: semua orang merasa “dokter” hanya karena pernah belajar biologi dasar. Itu bukan sekadar keliru. Itu berbahaya.
Selain kualitas pendidikan yang masih rendah, masalah kita adalah kurangnya kerendahan hati untuk belajar dan ketidakmampuan menyadari apa yang sesungguhnya tidak kita ketahui.
Dua kekeliruan berpikir di atas melahirkan kebijakan pembangunan yang keliru sekaligus eksekusi kebijakan yang salah arah. Dan ketika pola pikir keliru diproduksi terus-menerus, ia berubah menjadi budaya. Pada titik itu, kesalahan bukan lagi insiden, tetapi sistem. Dan sistem yang keliru secara mendasar tidak pernah menghasilkan bangsa yang maju.
HARAPAN UNTUK INDONESIA
Kepada anak-anak Indonesia:
Akan tiba suatu hari — semoga dalam satu dekade — ketika kalian tak perlu lagi bermimpi tentang negeri jauh untuk meraih pendidikan kelas dunia. Kalian akan memiliki harapan yang nyata dan bersinar — untuk belajar di universitas terbaik, di tanah air sendiri.
Kepada para mahasiswa:
Kalian akan punya kesempatan menempuh pendidikan pascasarjana yang bukan hanya setara dengan standar dunia, tetapi bersaing dengan yang terbaik. Bakat kalian tak lagi terkubur dalam sistem yang rapuh dan korup, melainkan diasah dan dirayakan.
Kepada para perantau “otak” Indonesia di luar negeri:
Kalian pergi demi martabat, pengakuan, dan masa depan. Namun bayangkan sebuah negeri yang menyambut kepulangan kalian dengan hormat, menghargai keahlian kalian, dan benar-benar memberi ruang bagi kontribusi kalian. Kalian bisa pulang tanpa kehilangan apa pun — untuk hidup layak, berkarya bermakna, dan kembali merasa memiliki.
Kepada para orang tua:
Tak akan ada lagi berat hari melepas anak terbaik kalian jauh dari tanah air. Suatu hari nanti, anak dan cucu kalian akan bangga kuliah dan berkarya di tanah airnya — bangga menjadi bagian dari negeri ini.
Kepada para pemimpin dunia usaha:
Waktu untuk berdiam diri telah lewat. Beban kemajuan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Kalian telah membangun imperium — kini saatnya ikut membangun kecerdasan dan inovasi bangsa, bukan hanya jadi pemburu rente dan sumber daya alam. Buku ini menawarkan cetak biru untuk berinvestasi dalam modal manusia dan riset — kunci nilai sejati sebuah bangsa ditentukan.
Kepada rakyat Indonesia:
Terlalu lama kita lupa bahwa kekayaan terbesar negeri ini bukanlah minyak, bukan emas, bukan nikel, tetapi manusianya. Kini saatnya kita merebut masa depan dengan menumbuhkan kualitas sumber daya manusia. Tanpa itu, kita tidak hanya akan kehilangan sumber daya alam juga— namun miskin takdir.
Kepada para guru dan dosen:
Kalian yang selama ini membentuk pikiran dalam serba keterbatasan— kini peran kalian akhirnya mendapat tempat yang semestinya. Visi ini menempatkan kalian di jantung perubahan, bukan di pinggirnya.
Kepada para pembuat kebijakan:
Waktu tidak hanya berdetak — ia berdentang. Ini saatnya bertindak transformasional membangun ekosistem pengetahuan nasional. Bukan nanti. Bukan kelak. Sekarang. Atau tidak sama sekali.
Dan di atas segalanya — kepada setiap insan Indonesia:
Kita harus gelisah dalam rasa ingin tahu. Lapar bukan hanya akan jawaban, tetapi akan pertanyaan yang lebih baik. Haus bukan akan gengsi, tetapi akan pemahaman. Bangga bukan dalam kepura-puraan, tetapi dalam kemampuan. Puas bukan dalam penipuan, tetapi dalam penemuan.
Kita harus menuntut, menguasai, dan mengaplikasikan ilmu dengan kesungguhan sebuah bangsa yang tahu. Tanpa itu, kita tak akan bangkit.
Now or Never
Peningkatan kualitas Pendidikan bukan menjadi sekadar visi dan blueprint yang tersimpan dalam slogan.
Tetapi menjadi awal dari kebangkitan— kebangkitan yang dimulai di ruang kelas, kampus, dan laboratorium dan yang bergema ke setiap sudut negeri Indonesia.
Karena hanya dengan itu Indonesia bisa maju.
Untuk mencapai kemajuan ekonomi yang mampu mensejahterakan masyarakat Indonesia — Indonesia harus membangun massa kritis, bukan hanya dalam jumlah, tetapi dalam kualitas.
Dalam konteks ini, massa kritis berarti jumlah dan kualitas minimum kelompok manusia yang dibutuhkan agar suatu perubahan, gagasan, atau kemajuan dapat tumbuh dan berlanjut secara mandiri hingga menjadi kekuatan yang menggerakkan bangsa.
Pertama, massa kritis warga yang berorientasi publik, yang menilai keberhasilan bukan dari apa yang didapat, tetapi dari apa yang diberikan.
Kedua, massa kritis inovator dan pembangun, yang melihat nilai pada penciptaan, bukan pemburuan rente; yang menciptakan kekayaan, bukan mewarisi privilese.
Ketiga, massa kritis pencari pengetahuan, yang gelisah oleh rasa ingin tahu, alergi terhadap kebodohan, dan tidak mentolerir kemediokritasan.
Keempat, massa kritis nurani moral, di mana integritas bukan cita-cita, tetapi kebiasaan.
Kelima, massa kritis pemikir kelembagaan, yang memahami bahwa sistemlah, bukan slogan, yang menopang peradaban.
Keenam, massa kritis pendidik dan pembaharu, yang melihat sekolah dan universitas bukan sebagai birokrasi, melainkan mercusuar pencerahan.
Dan terakhir, massa kritis para pemimpi yang bertindak — mereka yang tidak hanya membayangkan dan berceloteh Indonesia yang lebih baik, tetapi juga membangunnya, dengan kesabaran dan ketekunan.
Jika menggunakan Teori Pareto, sebuah perubahan nyata membutuhkan sedikitnya 20% massa kritis. Setelah bertemu dan berinteraksi praktis dengan ribuan warga Indonesia dari berbagai lapisan, perkiraan saya, Indonesia saat ini baru memiliki 0.5 – 1% di antaranya.
Tanpa massa-massa kritis ini, kebijakan terbaik pun akan tenggelam dalam rutinitas, dan talenta terbaik kita akan terus mencari masa depan di tempat lain. Tantangan Indonesia bukan sekadar untuk tumbuh, tetapi untuk tumbuh dalam skala besar — melintasi pulau, budaya, dan generasi.
Indonesia bukan negara-kota seperti Singapura atau Qatar. Keduanya bisa tumbuh melalui pemerintahan yang terkonsentrasi, wilayah yang kecil, dan populasi yang terbatas. Indonesia tidak bisa. Kemajuan kita harus dibangun dengan sabar dan dibangun dengan benar.
Pembangunan bukanlah mukjizat; ia adalah metode, suatu upaya yang disiplin, bermoral, dan lintas generasi.
Pembangunan bukan tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang apa yang kita menjadi.
Jika Indonesia ingin bersaing di masa depan, maka ia harus lebih dulu melahirkan manusia yang berpikir seperti masa depan.
Kepada anak-anak Indonesia:
Akan tiba suatu hari — semoga dalam satu dekade — ketika kalian tak perlu lagi bermimpi tentang negeri jauh untuk meraih pendidikan kelas dunia. Kalian akan memiliki harapan yang nyata dan bersinar — untuk belajar di universitas terbaik, di tanah air sendiri.
Kepada para mahasiswa:
Kalian akan punya kesempatan menempuh pendidikan pascasarjana yang bukan hanya setara dengan standar dunia, tetapi bersaing dengan yang terbaik. Bakat kalian tak lagi terkubur dalam sistem yang rapuh dan korup, melainkan diasah dan dirayakan.
Kepada para perantau “otak” Indonesia di luar negeri:
Kalian pergi demi martabat, pengakuan, dan masa depan. Namun bayangkan sebuah negeri yang menyambut kepulangan kalian dengan hormat, menghargai keahlian kalian, dan benar-benar memberi ruang bagi kontribusi kalian. Kalian bisa pulang tanpa kehilangan apa pun — untuk hidup layak, berkarya bermakna, dan kembali merasa memiliki.
Kepada para orang tua:
Tak akan ada lagi berat hari melepas anak terbaik kalian jauh dari tanah air. Suatu hari nanti, anak dan cucu kalian akan bangga kuliah dan berkarya di tanah airnya — bangga menjadi bagian dari negeri ini.
Kepada para pemimpin dunia usaha:
Waktu untuk berdiam diri telah lewat. Beban kemajuan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Kalian telah membangun imperium — kini saatnya ikut membangun kecerdasan dan inovasi bangsa, bukan hanya jadi pemburu rente dan sumber daya alam. Buku ini menawarkan cetak biru untuk berinvestasi dalam modal manusia dan riset — kunci nilai sejati sebuah bangsa ditentukan.
Kepada rakyat Indonesia:
Terlalu lama kita lupa bahwa kekayaan terbesar negeri ini bukanlah minyak, bukan emas, bukan nikel, tetapi manusianya. Kini saatnya kita merebut masa depan dengan menumbuhkan kualitas sumber daya manusia. Tanpa itu, kita tidak hanya akan kehilangan sumber daya alam juga— namun miskin takdir.
Kepada para guru dan dosen:
Kalian yang selama ini membentuk pikiran dalam serba keterbatasan— kini peran kalian akhirnya mendapat tempat yang semestinya. Visi ini menempatkan kalian di jantung perubahan, bukan di pinggirnya.
Kepada para pembuat kebijakan:
Waktu tidak hanya berdetak — ia berdentang. Ini saatnya bertindak transformasional membangun ekosistem pengetahuan nasional. Bukan nanti. Bukan kelak. Sekarang. Atau tidak sama sekali.
Dan di atas segalanya — kepada setiap insan Indonesia:
Kita harus gelisah dalam rasa ingin tahu. Lapar bukan hanya akan jawaban, tetapi akan pertanyaan yang lebih baik. Haus bukan akan gengsi, tetapi akan pemahaman. Bangga bukan dalam kepura-puraan, tetapi dalam kemampuan. Puas bukan dalam penipuan, tetapi dalam penemuan.
Kita harus menuntut, menguasai, dan mengaplikasikan ilmu dengan kesungguhan sebuah bangsa yang tahu. Tanpa itu, kita tak akan bangkit.
Now or Never
Peningkatan kualitas Pendidikan bukan menjadi sekadar visi dan blueprint yang tersimpan dalam slogan.
Tetapi menjadi awal dari kebangkitan— kebangkitan yang dimulai di ruang kelas, kampus, dan laboratorium dan yang bergema ke setiap sudut negeri Indonesia.
Karena hanya dengan itu Indonesia bisa maju.
Untuk mencapai kemajuan ekonomi yang mampu mensejahterakan masyarakat Indonesia — Indonesia harus membangun massa kritis, bukan hanya dalam jumlah, tetapi dalam kualitas.
Dalam konteks ini, massa kritis berarti jumlah dan kualitas minimum kelompok manusia yang dibutuhkan agar suatu perubahan, gagasan, atau kemajuan dapat tumbuh dan berlanjut secara mandiri hingga menjadi kekuatan yang menggerakkan bangsa.
Pertama, massa kritis warga yang berorientasi publik, yang menilai keberhasilan bukan dari apa yang didapat, tetapi dari apa yang diberikan.
Kedua, massa kritis inovator dan pembangun, yang melihat nilai pada penciptaan, bukan pemburuan rente; yang menciptakan kekayaan, bukan mewarisi privilese.
Ketiga, massa kritis pencari pengetahuan, yang gelisah oleh rasa ingin tahu, alergi terhadap kebodohan, dan tidak mentolerir kemediokritasan.
Keempat, massa kritis nurani moral, di mana integritas bukan cita-cita, tetapi kebiasaan.
Kelima, massa kritis pemikir kelembagaan, yang memahami bahwa sistemlah, bukan slogan, yang menopang peradaban.
Keenam, massa kritis pendidik dan pembaharu, yang melihat sekolah dan universitas bukan sebagai birokrasi, melainkan mercusuar pencerahan.
Dan terakhir, massa kritis para pemimpi yang bertindak — mereka yang tidak hanya membayangkan dan berceloteh Indonesia yang lebih baik, tetapi juga membangunnya, dengan kesabaran dan ketekunan.
Jika menggunakan Teori Pareto, sebuah perubahan nyata membutuhkan sedikitnya 20% massa kritis. Setelah bertemu dan berinteraksi praktis dengan ribuan warga Indonesia dari berbagai lapisan, perkiraan saya, Indonesia saat ini baru memiliki 0.5 – 1% di antaranya.
Tanpa massa-massa kritis ini, kebijakan terbaik pun akan tenggelam dalam rutinitas, dan talenta terbaik kita akan terus mencari masa depan di tempat lain. Tantangan Indonesia bukan sekadar untuk tumbuh, tetapi untuk tumbuh dalam skala besar — melintasi pulau, budaya, dan generasi.
Indonesia bukan negara-kota seperti Singapura atau Qatar. Keduanya bisa tumbuh melalui pemerintahan yang terkonsentrasi, wilayah yang kecil, dan populasi yang terbatas. Indonesia tidak bisa. Kemajuan kita harus dibangun dengan sabar dan dibangun dengan benar.
Pembangunan bukanlah mukjizat; ia adalah metode, suatu upaya yang disiplin, bermoral, dan lintas generasi.
Pembangunan bukan tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang apa yang kita menjadi.
Jika Indonesia ingin bersaing di masa depan, maka ia harus lebih dulu melahirkan manusia yang berpikir seperti masa depan.
Bangunlah Akademisi, Bangun Negerimu
"Tokoh akademisi turunlah, jangan pandang ilmu terpisah-pisah. Kaum intelektual memiliki peran yang sangat krusial di Indonesia. Semua perubahan yang datang di Indonesia, datangnya berasal dari kaum intelektual. Semua perubahan pada dasarnya datang dari kaum intelektual. Bung Karno intelektual, Bung Hatta intelektual, Bung Sjahrir intelektual. Pemimpin dan pendiri bangsa kita berintelektual."
Pernyataan di atas tersebut datang dari Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia sekarang. Pernyataan itu disampaikan tatkala menjadi pembicara kunci dalam bedah buku berjudul 'Nasionalisme Sosialisme Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo' di Universitas Indonesia (UI), Depok pada 2017. Sumitro adalah ayah Presiden Prabowo.
Pernyataan serupa diulanginya tatkala berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2019, di hadapan sekitar 4.000 orang dari 115 perguruan tinggi negeri dan swasta. Prabowo punya harapan agar kaum intelektual lulusan perguruan tinggi mendukung perubahan dalam tatanan kebangsaan.
Prabowo memandang kaum intelektual dapat berperan dalam menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa. Kaum intelektual Indonesia dinilainya punya tanggung jawab atas kebenaran.
Harapan Prabowo tersebut tentu menjadi tantangan yang tidak mudah diwujudkan di zaman pasca kebenaran (post truth) saat ini. Steven Brill mengulas kesulitan tersebut dalam bukunya "The Death of Truth".
Memilah-milah informasi saat ini menjadi pekerjaan tersendiri yang butuh kehati-hatian dan kesabaran. Pendapat pakar yang beredar di jagat maya tak serta-merta bisa menjadi rujukan.
Bisa jadi pendapat itu bikinan kecerdasan imitasi (artificial intelligence), dengan narasi hoaks.
Belum lagi kecenderungan orang lebih mempercayai circle-nya ketimbang intelektual yang sesungguhnya. Seperti ditulis Tom Nichols dalam buku "The Death of Expertise", kepakaran terancam mati ditelan dahsyatnya era informasi saat ini.
Semua orang kini dapat menerbitkan opininya secara langsung ke publik. Seringkali mereka merasa sudah menjadi pakar, hanya berbekal informasi yang didapat dari grup percakapan online, yang kemungkinan besar disebar para pendengung (buzzer).
Dalam laporan investigasi Kompas (1/6) terungkap, pengaruh pendengung sangat dominan dalam membentuk opini masyarakat. Pembentukan opini ini menjadi efektif lantaran dibangun melalui jejaring yang luas, didukung teknologi, dari phone farming atau peternakan telepon hingga pelantar (platform) untuk menambah jumlah pengikut di media sosial.
Para pendengung bergerak dengan bayaran jutaan hingga miliaran rupiah membentuk opini publik berkaitan dengan politik, ekonomi, hingga kampanye produk seperti kosmetik, kuliner, dan sebagainya. Dan, para pendengung sering diorder untuk membuat konten bermuatan hoaks, baik dalam bentuk teks, gambar, maupun video.
Kepungan pendengung efektif dalam menggiring opini karena sejatinya, seperti dikatakan Merlyna Lim, penulis buku "Social Media and Politics ini Southeast Asia", sedari awal pembuatannya media sosial memang dimaksudkan sebagai alat pemasaran.
Media sosial diciptakan dengan desain yang memiliki intensi-bukan untuk membangun demokrasi, melainkan untuk memperluas pasar.
Algoritma bekerja berdasarkan logika pemasaran: memaksimalkan keterlibatan (engagement), menargetkan emosi pengguna, dan mengejar laba iklan. Inilah budaya algoritmik yang dibentuk oleh perpaduan antara prinsip pasar dan teknologi otomatisasi.
Dalam berbagai kasus, terlihat bahwa rasa menjadi komoditas. Hal ini membuat, misalnya saja politik, berubah bentuk. Politik tak lagi soal ide, melainkan soal sensasi. Sehingga, media sosial menjelma menjadi arena perdagangan, dengan kebencian dan pemujaan menjadi mata uang utama-yang dibayar dengan perhatian pengguna.
Di tengah ekosistem yang buruk tersebut, secercah harapan muncul dari temuan jurnal Nature Human Behaviour. Dalam laporan jurnal ini pada 2025 disebutkan, masyarakat masih percaya intelektualitas para ilmuwan yang sebenarnya.
Dalam laporan itu disebutkan, tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap ilmuwan tercatat sebesar 3,84 dari skala 5. Hasil ini lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 3,62. Dengan demikian, Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap ilmuwan. Publik yakin metode ilmiah adalah cara terbaik mengetahui kebenaran.
Hanya saja, ilmuwan dinilai kurang terbuka pada umpan balik yang secara global masih rendah, yakni 3,3. Publik merasa suara mereka jarang dipertimbangkan komunitas ilmiah. Masih ada anggapan ilmuwan berada di menara gading. Butuh lebih membumi. Sehingga, ilmuwan perlu lebih menjadikan dirinya sebagai intelektual, yang mengembangkan dan menyebarkan pemikiran kritis, dari hasil penelitiannya.
Nature Human Behavior menyebut, ada kesenjangan persepsi dan prioritas. Masyarakat Indonesia menginginkan ilmuwan fokus pada isu keseharian, seperti kemiskinan, energi, dan kesehatan. Sedangkan riset yang dilakukan lebih banyak pada bidang yang manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Padahal, bisa jadi riset-riset yang dilakukan para ilmuwan sejatinya berbasis problem nyata. Hanya saja kurang bisa dipahami. Karena itulah, para ilmuwan tidak cukup menerbitkan karya mereka di jurnal akademis, yang penulisannya bersifat teknis, obyektif, dan tidak memihak. Sebab, kecil kemungkinan bakal menarik atau mudah dipahami masyarakat awam.
Profesor Karen Anderson dari Institut Lingkungan dan Keberlanjutan, Universitas Exeter, Inggris, menyarankan agar sains diterjemahkan ke dalam 'cerita' alias memakai teknik story telling. Para ilmuwan dapat menceritakan kisah yang kuat dan penuh gairah tanpa mengorbankan obyektivitas sains.
Sebelumnya, Asit K. Biswas dan Julian Kirchherr, peneliti dari dua perguruan tinggi di Inggris Raya, Universitas Glasgow, dan Universitas Oxford, pernah menyatakan bahwa lebih 1,5 juta artikel ilmiah diterbitkan jurnal akademik tiap tahun.
Ternyata, sebagian besar diabaikan begitu saja. Sebanyak 82 persen artikel di jurnal ilmiah belum pernah dikutip (cited) sekalipun. Satu artikel dalam jurnal ilmiah boleh jadi hanya dibaca kurang dari 10 orang (the conversion, 2016).
Ada baiknya melihat apa yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dalam mempopulerkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), setelah terkejut dengan peluncuran satelit Sputnik 1 oleh Uni Sovyet pada 4 Oktober 1957. Peluncuran satelit ini terjadi di tengah perang dingin kedua negara.
AS tentu saja panas dengan propaganda Uni Sovyet yang menyatakan "Kami lahir untuk membuat dongeng menjadi kenyataan." Sovyet menjadi negara pertama yang menuju antariksa. Guncangan Sputnik bahkan digambarkan seperti serangan Jepang saat perang di Pearl Harbour.
Guna mengejar ketertinggalannya, sebagaimana dicatat Institus Sejarah Gilder Lehrman, AS lantas mengubah secara drastis sistem pendidikannya, terutama cara pengajaran iptek.
Buku-buku sains karya Darwin, Newton, atau Einstein misalnya dibaca lebih serius. Penulisan sains populer pun didorong, tak hanya dalam bentuk teks. Animasi, poster dan komik juga dimanfaatkan.
Buku-buku ilmiah populer lantas bermunculan, yang mendorong inovasi dan kemajuan iptek. Pada 1968 misalnya, ilmuwan biologi molekuler James D. Watson menulis "The Double Helix", yang menjadi buku sains populer pertama yang menulis tentang penemuan DNA, dengan gaya bertutur personal. Tak terkecuali kisah-kisah emosional Watson.
Lalu pada 1987, James Gleick menelurkan "Chaos-Making New Science". Buku sains ini ditulis dengan gaya novel, dan sukses membawa fisika ke panggung dunia. Sampai saat ini, banyak yang mengutip teori butterfly effect dari buku ini.
Masyarakat awam pun menyukai sains, dan menjadikan AS pusat penelitian dan pengembangan dunia. Budaya litbang di AS mendorong kreativitas dan punya karakter tidak takut kegagalan. Kekuatan AS ini juga tercermin dari prestasi. Sebanyak 400 orang pemenang Hadiah Nobel berasal dari negara ini.
Pendek kata, AS menjadi surga penelitian dan pengembangan bagi ilmuwan. China, Eropa, dan negara-negara lain, termasuk Qatar dan Singapura, pun kerap membajak ilmuwan dari AS. Mereka ditawari posisi, gaji, dan sarana penelitian lebih mentereng.
Semua kemudian berkebalikan ketika Presiden Donald Trump membuat kebijakan anti sains. Salah satunya yang paling berdampak adalah pemotongan anggaran di berbagai lembaga litbang.
Misalnya, Trump memerintahkan pemotongan dana penelitian lebih dari US$2,6 miliar (Rp 42,49 triliun) untuk Universitas Harvard, karena perguruan tinggi ini dinilai membiarkan gerakan antisemitisme.
Trump memang populer dikenal sebagai sosok antisains. Sebagai contoh, Trump lebih menyukai konspirasi dalam menyikapi pandemi Covid-19, dengan menyebut virus ini bikinan laboratorium di Wuhan, China.
Apa yang dilakukan AS ketika pro-sains menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah selaku pemegang kuasa kebijakan publik dengan ilmuwan, dapat memberikan dorongan kemanfaatan yang besar bagi pengembangan iptek.
Ujungnya tentu membantu peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Langkah AS telah membuat teknologi material, teknologi pengolahan makanan, komputer, atau internet maju pesat.
Kolaborasi positif semacam itu penting diterapkan. Kolaborasi ini dapat mengikis semangat untuk mengintervensi kebebasan akademik, mengkerdilkan budaya ilmiah, atau pun upaya mematikan habitus akademik.
Riset panjang ilmuwan yang dihasilkan dari proses uji laboratorium pun tidak akan mudah tunduk dan kalah dengan kepalsuan informasi yang dikendalikan kuasa informasi digital, lantaran ilmuwan yang intelektual ini, membuat sains kian populer dan mudah dipahami masyarakat.
Kolaborasi positif semacam itu membuat harapan Presiden Prabowo agar para akademisi, para ilmuwan dan intelektual turun ke masyarakat untuk memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, akan menemui kenyataan.
"Tokoh akademisi turunlah, jangan pandang ilmu terpisah-pisah. Kaum intelektual memiliki peran yang sangat krusial di Indonesia. Semua perubahan yang datang di Indonesia, datangnya berasal dari kaum intelektual. Semua perubahan pada dasarnya datang dari kaum intelektual. Bung Karno intelektual, Bung Hatta intelektual, Bung Sjahrir intelektual. Pemimpin dan pendiri bangsa kita berintelektual."
Pernyataan di atas tersebut datang dari Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia sekarang. Pernyataan itu disampaikan tatkala menjadi pembicara kunci dalam bedah buku berjudul 'Nasionalisme Sosialisme Pragmatisme: Pemikiran Ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo' di Universitas Indonesia (UI), Depok pada 2017. Sumitro adalah ayah Presiden Prabowo.
Pernyataan serupa diulanginya tatkala berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2019, di hadapan sekitar 4.000 orang dari 115 perguruan tinggi negeri dan swasta. Prabowo punya harapan agar kaum intelektual lulusan perguruan tinggi mendukung perubahan dalam tatanan kebangsaan.
Prabowo memandang kaum intelektual dapat berperan dalam menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa. Kaum intelektual Indonesia dinilainya punya tanggung jawab atas kebenaran.
Harapan Prabowo tersebut tentu menjadi tantangan yang tidak mudah diwujudkan di zaman pasca kebenaran (post truth) saat ini. Steven Brill mengulas kesulitan tersebut dalam bukunya "The Death of Truth".
Memilah-milah informasi saat ini menjadi pekerjaan tersendiri yang butuh kehati-hatian dan kesabaran. Pendapat pakar yang beredar di jagat maya tak serta-merta bisa menjadi rujukan.
Bisa jadi pendapat itu bikinan kecerdasan imitasi (artificial intelligence), dengan narasi hoaks.
Belum lagi kecenderungan orang lebih mempercayai circle-nya ketimbang intelektual yang sesungguhnya. Seperti ditulis Tom Nichols dalam buku "The Death of Expertise", kepakaran terancam mati ditelan dahsyatnya era informasi saat ini.
Semua orang kini dapat menerbitkan opininya secara langsung ke publik. Seringkali mereka merasa sudah menjadi pakar, hanya berbekal informasi yang didapat dari grup percakapan online, yang kemungkinan besar disebar para pendengung (buzzer).
Dalam laporan investigasi Kompas (1/6) terungkap, pengaruh pendengung sangat dominan dalam membentuk opini masyarakat. Pembentukan opini ini menjadi efektif lantaran dibangun melalui jejaring yang luas, didukung teknologi, dari phone farming atau peternakan telepon hingga pelantar (platform) untuk menambah jumlah pengikut di media sosial.
Para pendengung bergerak dengan bayaran jutaan hingga miliaran rupiah membentuk opini publik berkaitan dengan politik, ekonomi, hingga kampanye produk seperti kosmetik, kuliner, dan sebagainya. Dan, para pendengung sering diorder untuk membuat konten bermuatan hoaks, baik dalam bentuk teks, gambar, maupun video.
Kepungan pendengung efektif dalam menggiring opini karena sejatinya, seperti dikatakan Merlyna Lim, penulis buku "Social Media and Politics ini Southeast Asia", sedari awal pembuatannya media sosial memang dimaksudkan sebagai alat pemasaran.
Media sosial diciptakan dengan desain yang memiliki intensi-bukan untuk membangun demokrasi, melainkan untuk memperluas pasar.
Algoritma bekerja berdasarkan logika pemasaran: memaksimalkan keterlibatan (engagement), menargetkan emosi pengguna, dan mengejar laba iklan. Inilah budaya algoritmik yang dibentuk oleh perpaduan antara prinsip pasar dan teknologi otomatisasi.
Dalam berbagai kasus, terlihat bahwa rasa menjadi komoditas. Hal ini membuat, misalnya saja politik, berubah bentuk. Politik tak lagi soal ide, melainkan soal sensasi. Sehingga, media sosial menjelma menjadi arena perdagangan, dengan kebencian dan pemujaan menjadi mata uang utama-yang dibayar dengan perhatian pengguna.
Di tengah ekosistem yang buruk tersebut, secercah harapan muncul dari temuan jurnal Nature Human Behaviour. Dalam laporan jurnal ini pada 2025 disebutkan, masyarakat masih percaya intelektualitas para ilmuwan yang sebenarnya.
Dalam laporan itu disebutkan, tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap ilmuwan tercatat sebesar 3,84 dari skala 5. Hasil ini lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 3,62. Dengan demikian, Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan tingkat kepercayaan tinggi terhadap ilmuwan. Publik yakin metode ilmiah adalah cara terbaik mengetahui kebenaran.
Hanya saja, ilmuwan dinilai kurang terbuka pada umpan balik yang secara global masih rendah, yakni 3,3. Publik merasa suara mereka jarang dipertimbangkan komunitas ilmiah. Masih ada anggapan ilmuwan berada di menara gading. Butuh lebih membumi. Sehingga, ilmuwan perlu lebih menjadikan dirinya sebagai intelektual, yang mengembangkan dan menyebarkan pemikiran kritis, dari hasil penelitiannya.
Nature Human Behavior menyebut, ada kesenjangan persepsi dan prioritas. Masyarakat Indonesia menginginkan ilmuwan fokus pada isu keseharian, seperti kemiskinan, energi, dan kesehatan. Sedangkan riset yang dilakukan lebih banyak pada bidang yang manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Padahal, bisa jadi riset-riset yang dilakukan para ilmuwan sejatinya berbasis problem nyata. Hanya saja kurang bisa dipahami. Karena itulah, para ilmuwan tidak cukup menerbitkan karya mereka di jurnal akademis, yang penulisannya bersifat teknis, obyektif, dan tidak memihak. Sebab, kecil kemungkinan bakal menarik atau mudah dipahami masyarakat awam.
Profesor Karen Anderson dari Institut Lingkungan dan Keberlanjutan, Universitas Exeter, Inggris, menyarankan agar sains diterjemahkan ke dalam 'cerita' alias memakai teknik story telling. Para ilmuwan dapat menceritakan kisah yang kuat dan penuh gairah tanpa mengorbankan obyektivitas sains.
Sebelumnya, Asit K. Biswas dan Julian Kirchherr, peneliti dari dua perguruan tinggi di Inggris Raya, Universitas Glasgow, dan Universitas Oxford, pernah menyatakan bahwa lebih 1,5 juta artikel ilmiah diterbitkan jurnal akademik tiap tahun.
Ternyata, sebagian besar diabaikan begitu saja. Sebanyak 82 persen artikel di jurnal ilmiah belum pernah dikutip (cited) sekalipun. Satu artikel dalam jurnal ilmiah boleh jadi hanya dibaca kurang dari 10 orang (the conversion, 2016).
Ada baiknya melihat apa yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dalam mempopulerkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), setelah terkejut dengan peluncuran satelit Sputnik 1 oleh Uni Sovyet pada 4 Oktober 1957. Peluncuran satelit ini terjadi di tengah perang dingin kedua negara.
AS tentu saja panas dengan propaganda Uni Sovyet yang menyatakan "Kami lahir untuk membuat dongeng menjadi kenyataan." Sovyet menjadi negara pertama yang menuju antariksa. Guncangan Sputnik bahkan digambarkan seperti serangan Jepang saat perang di Pearl Harbour.
Guna mengejar ketertinggalannya, sebagaimana dicatat Institus Sejarah Gilder Lehrman, AS lantas mengubah secara drastis sistem pendidikannya, terutama cara pengajaran iptek.
Buku-buku sains karya Darwin, Newton, atau Einstein misalnya dibaca lebih serius. Penulisan sains populer pun didorong, tak hanya dalam bentuk teks. Animasi, poster dan komik juga dimanfaatkan.
Buku-buku ilmiah populer lantas bermunculan, yang mendorong inovasi dan kemajuan iptek. Pada 1968 misalnya, ilmuwan biologi molekuler James D. Watson menulis "The Double Helix", yang menjadi buku sains populer pertama yang menulis tentang penemuan DNA, dengan gaya bertutur personal. Tak terkecuali kisah-kisah emosional Watson.
Lalu pada 1987, James Gleick menelurkan "Chaos-Making New Science". Buku sains ini ditulis dengan gaya novel, dan sukses membawa fisika ke panggung dunia. Sampai saat ini, banyak yang mengutip teori butterfly effect dari buku ini.
Masyarakat awam pun menyukai sains, dan menjadikan AS pusat penelitian dan pengembangan dunia. Budaya litbang di AS mendorong kreativitas dan punya karakter tidak takut kegagalan. Kekuatan AS ini juga tercermin dari prestasi. Sebanyak 400 orang pemenang Hadiah Nobel berasal dari negara ini.
Pendek kata, AS menjadi surga penelitian dan pengembangan bagi ilmuwan. China, Eropa, dan negara-negara lain, termasuk Qatar dan Singapura, pun kerap membajak ilmuwan dari AS. Mereka ditawari posisi, gaji, dan sarana penelitian lebih mentereng.
Semua kemudian berkebalikan ketika Presiden Donald Trump membuat kebijakan anti sains. Salah satunya yang paling berdampak adalah pemotongan anggaran di berbagai lembaga litbang.
Misalnya, Trump memerintahkan pemotongan dana penelitian lebih dari US$2,6 miliar (Rp 42,49 triliun) untuk Universitas Harvard, karena perguruan tinggi ini dinilai membiarkan gerakan antisemitisme.
Trump memang populer dikenal sebagai sosok antisains. Sebagai contoh, Trump lebih menyukai konspirasi dalam menyikapi pandemi Covid-19, dengan menyebut virus ini bikinan laboratorium di Wuhan, China.
Apa yang dilakukan AS ketika pro-sains menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah selaku pemegang kuasa kebijakan publik dengan ilmuwan, dapat memberikan dorongan kemanfaatan yang besar bagi pengembangan iptek.
Ujungnya tentu membantu peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Langkah AS telah membuat teknologi material, teknologi pengolahan makanan, komputer, atau internet maju pesat.
Kolaborasi positif semacam itu penting diterapkan. Kolaborasi ini dapat mengikis semangat untuk mengintervensi kebebasan akademik, mengkerdilkan budaya ilmiah, atau pun upaya mematikan habitus akademik.
Riset panjang ilmuwan yang dihasilkan dari proses uji laboratorium pun tidak akan mudah tunduk dan kalah dengan kepalsuan informasi yang dikendalikan kuasa informasi digital, lantaran ilmuwan yang intelektual ini, membuat sains kian populer dan mudah dipahami masyarakat.
Kolaborasi positif semacam itu membuat harapan Presiden Prabowo agar para akademisi, para ilmuwan dan intelektual turun ke masyarakat untuk memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, akan menemui kenyataan.
Paradoks Kampus Kelas Dunia:
Ranking, Sarjana Menganggur, dan Magang Dibayar.
Kita hidup di zaman di mana kampus lebih sibuk memoles citra daripada memperbaiki nasib lulusannya. Setiap brosur universitas kini seperti katalog kecantikan akademik: “World Class University”, “Top 200 QS Ranking”, “Sustainable Campus”, “AI-Driven Learning Environment”. Lengkap dengan logo ISO, drone shot gedung baru, dan testimoni alumni yang ( kalau jujur ) sebenarnya kerja di bidang yang tak ada hubungannya dengan jurusannya.
Sementara itu, para sarjana kita, produk unggulan dari sistem pendidikan nasional—berbaris rapi di antrean job fair, menyerahkan CV sambil berharap lowongan magang dibayar bukan sekadar ganti nama dari “kerja tanpa kontrak.”
Ranking Dunia: Ilusi Global, Ironi Lokal
Universitas besar seperti UI, ITB, dan UGM kini berlomba-lomba naik peringkat dunia. QS ( Quacquarelli Symonds ) , THE ( Times Higher Education ) , dan Times Higher Anything jadi kiblat baru, seolah masa depan bangsa tergantung pada ranking yang dibuat oleh lembaga di London yang bahkan tak tahu letak Sleman itu di Jawa bagian mana.
Akibatnya, riset diarahkan bukan untuk menjawab masalah negeri—seperti stunting, ketimpangan energi, atau birokrasi anggaran riset yang absurd—tapi untuk memenuhi indikator internasionalisasi.
Kampus pun berubah jadi pabrik akreditasi: menargetkan publikasi Scopus, mahasiswa asing, dan dosen tamu dari luar negeri. Padahal, mahasiswa dalam negeri masih berjuang mencari tempat magang yang seharusnya sesuai dengan bidang nya dan tidak sekedar bikin kopi ditempat magang.
Jadi pertanyaannya: untuk siapa kampus ini sebenarnya dibangun? Untuk bangsa, atau untuk ranking sheet?
Sarjana Menganggur: Antara Excel, Ekspektasi, dan Eksistensi
Ironinya, makin tinggi ranking kampus, makin banyak pula sarjana yang menganggur. UI bangga naik peringkat, tapi alumninya sibuk bikin side hustle jualan kopi literan. ITB mempromosikan Center of Excellence, tapi lulusan tekniknya bekerja di startup yang menjual template PowerPoint. UGM menelurkan ribuan sarjana sosial, tapi masyarakatnya tetap sosial hanya di media sosial.
Mungkin sudah saatnya kampus mengakui satu fakta pahit: pasar kerja tidak membaca jurnal Scopus.
Yang dibutuhkan bukan hanya nilai IPK, tapi kemampuan hidup — adaptasi, komunikasi, kolaborasi, dan sedikit keberanian untuk tidak baper.
Magang Dibayar, Revolusi atau Rekrutmen Halus?
Kebijakan “magang dibayar” disebut sebagai solusi. Konon agar mahasiswa mendapat pengalaman dunia nyata. Tapi di lapangan, “dibayar” sering berarti Rp750.000 per bulan, cukup untuk ongkos Transjakarta dan dua gelas kopi non-diskon.
Kampus bangga karena partnership with industry meningkat, tapi mahasiswa tahu: mereka sedang dilatih menjadi buruh digital yang efisien dan patuh. Work readiness, katanya. Padahal, lebih tepat disebut budget readiness — siap bekerja dengan gaji minimum dan ekspektasi maksimum.
Solusi Sederhana untuk Paradoks Kompleks.
Kampus kita tidak perlu sibuk mengejar pengakuan dunia, kalau dunia kerja dalam negeri saja belum mengakui potensi lulusannya.
Sudah saatnya ranking kampus diukur dari seberapa banyak alumninya yang bisa hidup layak, bukan dari jumlah jurnal Scopus atau mahasiswa asing yang eksotik.
PTN seperti UI, ITB, dan UGM semestinya membuat “Ranking Nasional Mahasiswa Dalam Negeri” — bukan untuk menyaingi QS atau THE, tapi untuk menegakkan martabat bangsa sendiri.
Indikatornya bukan international reputation, tapi:
- Jumlah riset yang berdampak langsung pada masyarakat Indonesia.
- Persentase alumni yang menciptakan pekerjaan, bukan mencari pekerjaan.
- Kepuasan rakyat, bukan sekadar citation index.
- Jumlah Invensi dan Patent Universitas yang di lisensi ( tidak hanya terdaftar di kantor DJKI ) oleh IKM dan Industri Nasional.
Kalau perlu, setiap universitas wajib menerbitkan Laporan Dampak Sosial: berapa banyak desa terbantu oleh riset mahasiswa, berapa UMKM yang naik kelas berkat kerja sama kampus, dan berapa dosen yang berhasil menulis jurnal tanpa kehilangan hati nurani.
Sarkasme yang Serius
Lucunya, kita sudah terlalu lama bangga disebut “world class”, padahal dunia pun belum tentu tahu kita eksis.
Mungkin sudah waktunya berhenti mengejar recognition abroad, dan mulai membangun relevance at home.
Karena sejatinya, universitas bukanlah menara gading untuk selfie intelektual, tapi dapur kebangsaan: tempat mencampur ilmu dan empati, teori dan kenyataan, idealisme dan akal sehat.
Kalau Plato masih hidup, ia mungkin akan menulis ulang The Republic versi Indonesia:
Negara yang sibuk memoles ranking kampusnya, tapi lupa mengangkat harkat mahasiswanya—adalah negara yang sedang magang di peradaban.
Distorsi Prioritas Akademik
Dampak paling merusak adalah distorsi prioritas institusional. Universitas yang seharusnya fokus pada pendidikan berkualitas dan riset bermakna malah menghabiskan sumber daya untuk konsultan ranking, akuntan yang "mengoptimalkan" data, dan administrator yang memanipulasi angka demi naik beberapa peringkat. Johns Hopkins Medical School menarik diri karena "ranking mengukur hal yang salah." Harvard dan Yale Law Schools keluar karena metodologi "sangat cacat" yang menghalangi mereka membantu mahasiswa kurang beruntung. Ranking berbasis output tahunan menciptakan tekanan jangka pendek yang tidak realistis. Hasil riset bermakna memerlukan waktu bertahun-tahun untuk terwujud, namun ranking menuntut hasil cepat, mendorong praktik tidak etis seperti publikasi massal tanpa substansi dan eksploitasi mahasiswa doktoral sebagai mesin produksi paper.
Mendefinisikan Kembali Keunggulan
Sorbonne, Columbia, Yale, Harvard, dan Johns Hopkins. Kelima universitas terkemuka ini memilih keluar dari perangkingan tingkat internasional, mereka keluar karena cukup percaya diri menolak sistem yang tidak mencerminkan nilai dan misi mereka. Mereka memilih didefinisikan oleh kontribusi nyata terhadap pengetahuan dan masyarakat, bukan angka dalam tabel peringkat. Indonesia perlu mengambil pelajaran sama. Internasionalisasi tetap penting, tetapi bukan sebagai tujuan akhir. Ranking dapat digunakan sebagai referensi, tetapi bukan obsesi. Yang lebih fundamental adalah membangun institusi berkualitas tinggi dengan identitas kuat, relevan dengan konteks lokal namun diakui global karena keunikan dan kontribusinya. Keberhasilan sejati perguruan tinggi Indonesia bukan diukur dari posisi dalam QS atau THE Rankings, melainkan dari kemampuannya menghasilkan lulusan kompeten dan berkarakter, riset yang mengatasi masalah nyata bangsa, dan kontribusi terhadap kemajuan peradaban.
Ranking, Sarjana Menganggur, dan Magang Dibayar.
Kita hidup di zaman di mana kampus lebih sibuk memoles citra daripada memperbaiki nasib lulusannya. Setiap brosur universitas kini seperti katalog kecantikan akademik: “World Class University”, “Top 200 QS Ranking”, “Sustainable Campus”, “AI-Driven Learning Environment”. Lengkap dengan logo ISO, drone shot gedung baru, dan testimoni alumni yang ( kalau jujur ) sebenarnya kerja di bidang yang tak ada hubungannya dengan jurusannya.
Sementara itu, para sarjana kita, produk unggulan dari sistem pendidikan nasional—berbaris rapi di antrean job fair, menyerahkan CV sambil berharap lowongan magang dibayar bukan sekadar ganti nama dari “kerja tanpa kontrak.”
Ranking Dunia: Ilusi Global, Ironi Lokal
Universitas besar seperti UI, ITB, dan UGM kini berlomba-lomba naik peringkat dunia. QS ( Quacquarelli Symonds ) , THE ( Times Higher Education ) , dan Times Higher Anything jadi kiblat baru, seolah masa depan bangsa tergantung pada ranking yang dibuat oleh lembaga di London yang bahkan tak tahu letak Sleman itu di Jawa bagian mana.
Akibatnya, riset diarahkan bukan untuk menjawab masalah negeri—seperti stunting, ketimpangan energi, atau birokrasi anggaran riset yang absurd—tapi untuk memenuhi indikator internasionalisasi.
Kampus pun berubah jadi pabrik akreditasi: menargetkan publikasi Scopus, mahasiswa asing, dan dosen tamu dari luar negeri. Padahal, mahasiswa dalam negeri masih berjuang mencari tempat magang yang seharusnya sesuai dengan bidang nya dan tidak sekedar bikin kopi ditempat magang.
Jadi pertanyaannya: untuk siapa kampus ini sebenarnya dibangun? Untuk bangsa, atau untuk ranking sheet?
Sarjana Menganggur: Antara Excel, Ekspektasi, dan Eksistensi
Ironinya, makin tinggi ranking kampus, makin banyak pula sarjana yang menganggur. UI bangga naik peringkat, tapi alumninya sibuk bikin side hustle jualan kopi literan. ITB mempromosikan Center of Excellence, tapi lulusan tekniknya bekerja di startup yang menjual template PowerPoint. UGM menelurkan ribuan sarjana sosial, tapi masyarakatnya tetap sosial hanya di media sosial.
Mungkin sudah saatnya kampus mengakui satu fakta pahit: pasar kerja tidak membaca jurnal Scopus.
Yang dibutuhkan bukan hanya nilai IPK, tapi kemampuan hidup — adaptasi, komunikasi, kolaborasi, dan sedikit keberanian untuk tidak baper.
Magang Dibayar, Revolusi atau Rekrutmen Halus?
Kebijakan “magang dibayar” disebut sebagai solusi. Konon agar mahasiswa mendapat pengalaman dunia nyata. Tapi di lapangan, “dibayar” sering berarti Rp750.000 per bulan, cukup untuk ongkos Transjakarta dan dua gelas kopi non-diskon.
Kampus bangga karena partnership with industry meningkat, tapi mahasiswa tahu: mereka sedang dilatih menjadi buruh digital yang efisien dan patuh. Work readiness, katanya. Padahal, lebih tepat disebut budget readiness — siap bekerja dengan gaji minimum dan ekspektasi maksimum.
Solusi Sederhana untuk Paradoks Kompleks.
Kampus kita tidak perlu sibuk mengejar pengakuan dunia, kalau dunia kerja dalam negeri saja belum mengakui potensi lulusannya.
Sudah saatnya ranking kampus diukur dari seberapa banyak alumninya yang bisa hidup layak, bukan dari jumlah jurnal Scopus atau mahasiswa asing yang eksotik.
PTN seperti UI, ITB, dan UGM semestinya membuat “Ranking Nasional Mahasiswa Dalam Negeri” — bukan untuk menyaingi QS atau THE, tapi untuk menegakkan martabat bangsa sendiri.
Indikatornya bukan international reputation, tapi:
- Jumlah riset yang berdampak langsung pada masyarakat Indonesia.
- Persentase alumni yang menciptakan pekerjaan, bukan mencari pekerjaan.
- Kepuasan rakyat, bukan sekadar citation index.
- Jumlah Invensi dan Patent Universitas yang di lisensi ( tidak hanya terdaftar di kantor DJKI ) oleh IKM dan Industri Nasional.
Kalau perlu, setiap universitas wajib menerbitkan Laporan Dampak Sosial: berapa banyak desa terbantu oleh riset mahasiswa, berapa UMKM yang naik kelas berkat kerja sama kampus, dan berapa dosen yang berhasil menulis jurnal tanpa kehilangan hati nurani.
Sarkasme yang Serius
Lucunya, kita sudah terlalu lama bangga disebut “world class”, padahal dunia pun belum tentu tahu kita eksis.
Mungkin sudah waktunya berhenti mengejar recognition abroad, dan mulai membangun relevance at home.
Karena sejatinya, universitas bukanlah menara gading untuk selfie intelektual, tapi dapur kebangsaan: tempat mencampur ilmu dan empati, teori dan kenyataan, idealisme dan akal sehat.
Kalau Plato masih hidup, ia mungkin akan menulis ulang The Republic versi Indonesia:
Negara yang sibuk memoles ranking kampusnya, tapi lupa mengangkat harkat mahasiswanya—adalah negara yang sedang magang di peradaban.
Distorsi Prioritas Akademik
Dampak paling merusak adalah distorsi prioritas institusional. Universitas yang seharusnya fokus pada pendidikan berkualitas dan riset bermakna malah menghabiskan sumber daya untuk konsultan ranking, akuntan yang "mengoptimalkan" data, dan administrator yang memanipulasi angka demi naik beberapa peringkat. Johns Hopkins Medical School menarik diri karena "ranking mengukur hal yang salah." Harvard dan Yale Law Schools keluar karena metodologi "sangat cacat" yang menghalangi mereka membantu mahasiswa kurang beruntung. Ranking berbasis output tahunan menciptakan tekanan jangka pendek yang tidak realistis. Hasil riset bermakna memerlukan waktu bertahun-tahun untuk terwujud, namun ranking menuntut hasil cepat, mendorong praktik tidak etis seperti publikasi massal tanpa substansi dan eksploitasi mahasiswa doktoral sebagai mesin produksi paper.
Mendefinisikan Kembali Keunggulan
Sorbonne, Columbia, Yale, Harvard, dan Johns Hopkins. Kelima universitas terkemuka ini memilih keluar dari perangkingan tingkat internasional, mereka keluar karena cukup percaya diri menolak sistem yang tidak mencerminkan nilai dan misi mereka. Mereka memilih didefinisikan oleh kontribusi nyata terhadap pengetahuan dan masyarakat, bukan angka dalam tabel peringkat. Indonesia perlu mengambil pelajaran sama. Internasionalisasi tetap penting, tetapi bukan sebagai tujuan akhir. Ranking dapat digunakan sebagai referensi, tetapi bukan obsesi. Yang lebih fundamental adalah membangun institusi berkualitas tinggi dengan identitas kuat, relevan dengan konteks lokal namun diakui global karena keunikan dan kontribusinya. Keberhasilan sejati perguruan tinggi Indonesia bukan diukur dari posisi dalam QS atau THE Rankings, melainkan dari kemampuannya menghasilkan lulusan kompeten dan berkarakter, riset yang mengatasi masalah nyata bangsa, dan kontribusi terhadap kemajuan peradaban.
Trade-off Jabatan Fungsional dan Struktural di Universitas.
Refleksi Moral, Etika, dan Integritas Keilmuan
Di lingkungan universitas, dua bentuk peran kerap saling berkelindan : jabatan fungsional sebagai akademisi (dosen/peneliti) dan jabatan struktural sebagai pengelola institusi (ketua departemen, program studi, dekan, rektor, dan sejenisnya). Secara normatif, keduanya dapat berjalan beriringan. Bahkan, struktur administratif di perguruan tinggi dirancang agar dipimpin oleh mereka yang memahami dunia akademik dari dalam. Namun dalam praktiknya, relasi ini tidak selalu sederhana. Di sana ada trade-off yang halus: antara tanggung jawab intelektual dan tuntutan birokrasi; antara idealisme keilmuan dan realitas kekuasaan administratif.
Jabatan fungsional mengandaikan seorang akademisi berada dalam tradisi scholarship: meneliti, menulis, mengajar, membimbing, serta menjaga gairah intelektual yang segar . Ia dituntut menjaga kebenaran ilmiah (veritas), obyektivitas, dan kebebasan akademik (academic freedom). Reputasi ilmiahnya dibangun oleh integritas proses: riset yang valid, publikasi yang jujur, pengajaran yang mendidik akal budi . Di sini, moral ilmiah bekerja: seorang ilmuwan tidak boleh memanipulasi data, tidak boleh menistakan akal sehat demi publisitas, tidak boleh mengajar sekadar menggugurkan kewajiban.
Sebaliknya, jabatan struktural membawa akademisi ke dalam arena pengambilan keputusan, manajemen sumber daya, anggaran, konflik kepentingan, dan diplomasi organisasi. Ia dituntut mengambil keputusan cepat, menimbang kepentingan yang sering kali bertentangan, menjaga stabilitas, dan merespon politik kampus. Di titik inilah trade-off muncul. Waktu yang sebelumnya digunakan untuk meneliti kini terpecah oleh rapat; perhatian yang seharusnya untuk membaca jurnal kini harus terbagi untuk menyusun laporan akreditasi; dan idealisme ilmiah harus negosiasi dengan realitas administratif.
Namun, masalahnya bukan sekadar soal waktu. Yang lebih subtil adalah arah orientasi. Jabatan fungsional berorientasi pada kebenaran ilmiah. Jabatan struktural berorientasi pada kelangsungan organisasi. Ketika kedua orientasi itu tidak dipertemukan secara bijaksana, akademisi dapat tergelincir menjadi fungsionaris yang kehilangan kepekaan ilmiahnya, atau sebaliknya, strukturalis yang tidak paham realitas organisasi.
Di sinilah moral, etika, dan integritas keilmuan menjadi kompas penuntun. Seorang pejabat struktural yang juga memegang jabatan fungsional harus menyadari bahwa otoritasnya bukan berasal dari jabatan, tetapi dari kepercayaan keilmuan. Jabatan struktural bersifat sementara; reputasi ilmiah bersifat panjang. Karena itu, keputusan akademik tidak boleh dimotivasi oleh kedekatan, gengsi, atau kepentingan kelompok, melainkan oleh nilai fairness, merit, dan kualitas keilmuan.
Etika akademik juga meminta pemisahan peran yang proporsional. Ketika ia bertindak sebagai ilmuwan, ia berbicara dengan dasar metodologi dan evidence. Ketika ia bertindak sebagai pejabat struktural, ia mengelola dengan asas akuntabilitas dan tata kelola yang baik ( good university governance ). Dalam banyak situasi keduanya bertemu: misalnya, saat menentukan kenaikan jabatan akademik, rekrutmen dosen baru, atau penentuan arah kurikulum. Di sinilah integritas diuji. Akademisi yang baik tidak boleh mengorbankan kualitas ilmiah demi kompromi politik. Dan pejabat struktural yang bijak tidak boleh memperalat jabatan akademik sebagai alat legitimasi.
Maka, trade-off ini bukan sesuatu untuk dihindari, melainkan untuk dikelola dengan kesadaran. Universitas yang sehat bukan yang memisahkan akademisi dari manajemen, tetapi yang memastikan manajemen tetap tunduk pada integritas keilmuan. Bukan jabatan struktural yang memimpin ilmu, tetapi ilmu yang memandu jabatan struktural.
Pada akhirnya, seorang akademisi yang memegang jabatan struktural adalah penjaga dua dunia. Dunia ide dan dunia realitas. Ia harus mampu menjaga agar universitas tidak terjebak menjadi sekadar “kantor administratif” maupun “menara gading yang tak bersentuhan dengan kenyataan”. Jalan tengahnya adalah etika.
Karena ketika kekuasaan administratif dan otoritas keilmuan bersatu dalam pribadi yang berintegritas, universitas berjalan sebagai civitas academica yang luhur, tempat kebenaran dicari, bukan dikompromikan; tempat ilmu dihormati, bukan diperdagangkan; tempat jabatan adalah alat pengabdian, bukan panggung reputasi .
Dan di situlah martabat seorang akademisi diuji dan dikenang.
Refleksi Moral, Etika, dan Integritas Keilmuan
Di lingkungan universitas, dua bentuk peran kerap saling berkelindan : jabatan fungsional sebagai akademisi (dosen/peneliti) dan jabatan struktural sebagai pengelola institusi (ketua departemen, program studi, dekan, rektor, dan sejenisnya). Secara normatif, keduanya dapat berjalan beriringan. Bahkan, struktur administratif di perguruan tinggi dirancang agar dipimpin oleh mereka yang memahami dunia akademik dari dalam. Namun dalam praktiknya, relasi ini tidak selalu sederhana. Di sana ada trade-off yang halus: antara tanggung jawab intelektual dan tuntutan birokrasi; antara idealisme keilmuan dan realitas kekuasaan administratif.
Jabatan fungsional mengandaikan seorang akademisi berada dalam tradisi scholarship: meneliti, menulis, mengajar, membimbing, serta menjaga gairah intelektual yang segar . Ia dituntut menjaga kebenaran ilmiah (veritas), obyektivitas, dan kebebasan akademik (academic freedom). Reputasi ilmiahnya dibangun oleh integritas proses: riset yang valid, publikasi yang jujur, pengajaran yang mendidik akal budi . Di sini, moral ilmiah bekerja: seorang ilmuwan tidak boleh memanipulasi data, tidak boleh menistakan akal sehat demi publisitas, tidak boleh mengajar sekadar menggugurkan kewajiban.
Sebaliknya, jabatan struktural membawa akademisi ke dalam arena pengambilan keputusan, manajemen sumber daya, anggaran, konflik kepentingan, dan diplomasi organisasi. Ia dituntut mengambil keputusan cepat, menimbang kepentingan yang sering kali bertentangan, menjaga stabilitas, dan merespon politik kampus. Di titik inilah trade-off muncul. Waktu yang sebelumnya digunakan untuk meneliti kini terpecah oleh rapat; perhatian yang seharusnya untuk membaca jurnal kini harus terbagi untuk menyusun laporan akreditasi; dan idealisme ilmiah harus negosiasi dengan realitas administratif.
Namun, masalahnya bukan sekadar soal waktu. Yang lebih subtil adalah arah orientasi. Jabatan fungsional berorientasi pada kebenaran ilmiah. Jabatan struktural berorientasi pada kelangsungan organisasi. Ketika kedua orientasi itu tidak dipertemukan secara bijaksana, akademisi dapat tergelincir menjadi fungsionaris yang kehilangan kepekaan ilmiahnya, atau sebaliknya, strukturalis yang tidak paham realitas organisasi.
Di sinilah moral, etika, dan integritas keilmuan menjadi kompas penuntun. Seorang pejabat struktural yang juga memegang jabatan fungsional harus menyadari bahwa otoritasnya bukan berasal dari jabatan, tetapi dari kepercayaan keilmuan. Jabatan struktural bersifat sementara; reputasi ilmiah bersifat panjang. Karena itu, keputusan akademik tidak boleh dimotivasi oleh kedekatan, gengsi, atau kepentingan kelompok, melainkan oleh nilai fairness, merit, dan kualitas keilmuan.
Etika akademik juga meminta pemisahan peran yang proporsional. Ketika ia bertindak sebagai ilmuwan, ia berbicara dengan dasar metodologi dan evidence. Ketika ia bertindak sebagai pejabat struktural, ia mengelola dengan asas akuntabilitas dan tata kelola yang baik ( good university governance ). Dalam banyak situasi keduanya bertemu: misalnya, saat menentukan kenaikan jabatan akademik, rekrutmen dosen baru, atau penentuan arah kurikulum. Di sinilah integritas diuji. Akademisi yang baik tidak boleh mengorbankan kualitas ilmiah demi kompromi politik. Dan pejabat struktural yang bijak tidak boleh memperalat jabatan akademik sebagai alat legitimasi.
Maka, trade-off ini bukan sesuatu untuk dihindari, melainkan untuk dikelola dengan kesadaran. Universitas yang sehat bukan yang memisahkan akademisi dari manajemen, tetapi yang memastikan manajemen tetap tunduk pada integritas keilmuan. Bukan jabatan struktural yang memimpin ilmu, tetapi ilmu yang memandu jabatan struktural.
Pada akhirnya, seorang akademisi yang memegang jabatan struktural adalah penjaga dua dunia. Dunia ide dan dunia realitas. Ia harus mampu menjaga agar universitas tidak terjebak menjadi sekadar “kantor administratif” maupun “menara gading yang tak bersentuhan dengan kenyataan”. Jalan tengahnya adalah etika.
Karena ketika kekuasaan administratif dan otoritas keilmuan bersatu dalam pribadi yang berintegritas, universitas berjalan sebagai civitas academica yang luhur, tempat kebenaran dicari, bukan dikompromikan; tempat ilmu dihormati, bukan diperdagangkan; tempat jabatan adalah alat pengabdian, bukan panggung reputasi .
Dan di situlah martabat seorang akademisi diuji dan dikenang.
Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership)
Kepemimpinan transformasional adalah teori kepemimpinan ketika perilaku seorang pemimpin mempengaruhi pengikutnya dan menginspirasi mereka untuk bekerja melebihi kemampuan yang mereka rasakan. Kepemimpinan transformasional menginspirasi orang untuk mencapai hasil yang tidak terduga atau luar biasa. Pemimpin transformasional bekerja dengan tim atau pengikut di luar kepentingan pribadi mereka untuk mengidentifikasi perubahan yang diperlukan. Mereka menciptakan visi untuk memandu perubahan melalui pengaruh dan inspirasi. Perubahan ini dilaksanakan bersama-sama dengan anggota kelompok yang berkomitmen dan melibatkan kepentingan pribadi. Hal ini meningkatkan cita-cita pengikut, tingkat kedewasaan, dan kepedulian terhadap pencapaian.
Pendidikan di Indonesia sangat memerlukan transformasi kepemimpinan yang fundamental dan cepat selaras dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pentingnya kepemimpinan yang transformasional dalam pendidikan menjadi prioritas untuk meningkatkan kinerja sekolah / perguruan tinggi dan kualitas pendidikan nasional. Kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang menekankan menginspirasi dan memotivasi pengikut untuk melampaui kepentingan visioner demi kebaikan yang lebih besar. Kepemimpinan transformasional ditandai oleh empat elemen utama: pengaruh ideal, motivasi inspirasional, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual. Dengan mewujudkan elemen-elemen tersebut, pemimpin sekolah / perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mempromosikan keterlibatan, pembelajaran, dan pencapaian bagi semua pemangku kepentingan.
Kepemimpinan transformasional dalam pendidikan melakukan pemecahan masalah dengan menghubungkan perencanaan sampai ke pelaksanaan pendidikan konteks dunia nyata dengan cara berbasis faktual dan relasional. Beberapa alasan mengapa kepemimpinan transformasional dalam pendidikan sangat penting:
Salah satu tindakan paling berdampak yang dapat diambil oleh seorang pemimpin sekolah / perguruan tinggi adalah menumbuhkan iklim sekolah/ perguruan tinggi yang positif. Pemimpin transformasional dapat mencapai ini dengan memodelkan nilai, keyakinan, dan perilaku yang ingin mereka lihat di komunitas civitas akademika. Melalui pengaruh yang ideal, para pemimpin ini mencontohkan standar etika yang tinggi, integritas, dan komitmen terhadap visi sekolah / perguruan tinggi, sehingga menciptakan suasana kepercayaan dan kolaborasi.
Selain itu, pemimpin transformasional dapat meningkatkan keterlibatan dengan memberikan motivasi yang menginspirasi. Dengan mengartikulasikan visi yang jelas dan menarik, mereka dapat menginspirasi dan memberi energi kepada staf dan siswa untuk bekerja menuju tujuan bersama. Tujuan bersama ini membantu menyatukan komunitas sekolah / perguruan tinggi dan menciptakan rasa memiliki, yang sangat penting untuk mempromosikan keterlibatan dan meningkatkan prestasi akademik.
Memberdayakan Guru / Dosen
Tindakan signifikan lainnya yang dapat diambil oleh para pemimpin sekolah / perguruan tinggi untuk meningkatkan keterlibatan, pembelajaran, dan prestasi adalah pemberdayaan guru / dosen. Pemimpin transformasional memahami bahwa guru / dosen adalah pendorong utama keberhasilan siswa, dan mereka secara aktif berusaha untuk mendukung pertumbuhan profesional mereka.
Dengan memberikan stimulasi intelektual, pemimpin sekolah / perguruan tinggi dapat menantang guru / dosen untuk berpikir kreatif dan kritis tentang praktik instruksional mereka. Ini termasuk mendorong guru / dosen untuk terlibat dalam pengembangan profesional yang berkelanjutan, praktik reflektif, dan pemecahan masalah kolaboratif. Ketika guru / dosen merasa didukung dalam pertumbuhan profesional mereka, mereka lebih mungkin untuk terlibat, inovatif, dan efektif di kelas.
Selain itu, pemimpin transformasional menunjukkan pertimbangan individual dengan mengenali kekuatan, kebutuhan, dan aspirasi unik dari setiap guru / dosen. Dengan menawarkan dukungan dan umpan balik yang dipersonalisasi, mereka dapat membantu guru / doseb mengatasi tantangan, membangun kepercayaan diri, dan pada akhirnya meningkatkan efektivitas pengajaran mereka.
Menciptakan Budaya Peningkatan Berkelanjutan
Salah satu tindakan paling berdampak yang dapat diambil oleh para pemimpin sekolah / perguruan tinggi untuk meningkatkan keterlibatan, pembelajaran, dan pencapaian adalah menumbuhkan budaya perbaikan berkelanjutan. Ini membutuhkan pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi area untuk pertumbuhan dan menerapkan intervensi yang ditargetkan untuk mengatasi area ini.
Pemimpin transformasional dapat memfasilitasi peningkatan berkelanjutan dengan membangun sistem untuk pengambilan keputusan berbasis data. Dengan mengumpulkan, menganalisis, dan menindaklanjuti data yang terkait dengan kinerja dan keterlibatan siswa, pemimpin sekolah / perguruan tinggi dapat mengidentifikasi area kekuatan dan kelemahan, menetapkan tujuan strategis, dan memantau kemajuan menuju tujuan ini. Pendekatan berbasis data ini memungkinkan sekolah / perguruan tinggi untuk membuat keputusan yang tepat tentang alokasi sumber daya, pengembangan profesional, dan desain kurikulum, memastikan bahwa upaya mereka difokuskan pada area dengan potensi dampak terbesar.
Selain itu, pemimpin transformasional dapat mempromosikan budaya perbaikan berkelanjutan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam prosesnya. Ini termasuk melibatkan guru, siswa, dan orang tua dalam pengambilan keputusan dan menciptakan peluang agar suara mereka didengar. Dengan menumbuhkan rasa kepemilikan bersama dan tanggung jawab atas keberhasilan sekolah / perguruan tinggi, para pemimpin dapat memobilisasi upaya kolektif komunitas sekolah perguruan tinggi menuju peningkatan berkelanjutan dan tingkat pencapaian yang lebih tinggi.
Pemimpin transformasional dalam pendidikan perlu menyeimbangkan beberapa dimensi. Untuk memahami dimensi ini, kami berbicara dengan sejumlah pemimpin transformasi , penasihat mereka, dan rekan-rekan mereka, yang mewakili sistem pendidikan yang berbeda pada tahap perkembangan yang berbeda . Pemimpin transformasional akan memperhatikan tiga langkah yang sangat strategis dalam mencapai tujuan:
Standar 1. Maksud dan Arah Pendidikan (Purpose and Direction).
Standar 2. Tata Kelola Pendidikan dan Kepemimpinan (Governance and Leadership).
Standar 3. Pengajaran dan Akses pembelajaran (Teaching and Assessing for Learning).
Standar 4. Sumber daya dan sistem pendukung pendidikan (Resources and Support System).
Keempat standar tersebut sangat dominan dalam menentukan peningkatan kinerja sekolah / perguruan tinggi dan peningkatan kualitas pendidikan.
Kepemimpinan transformasional adalah teori kepemimpinan ketika perilaku seorang pemimpin mempengaruhi pengikutnya dan menginspirasi mereka untuk bekerja melebihi kemampuan yang mereka rasakan. Kepemimpinan transformasional menginspirasi orang untuk mencapai hasil yang tidak terduga atau luar biasa. Pemimpin transformasional bekerja dengan tim atau pengikut di luar kepentingan pribadi mereka untuk mengidentifikasi perubahan yang diperlukan. Mereka menciptakan visi untuk memandu perubahan melalui pengaruh dan inspirasi. Perubahan ini dilaksanakan bersama-sama dengan anggota kelompok yang berkomitmen dan melibatkan kepentingan pribadi. Hal ini meningkatkan cita-cita pengikut, tingkat kedewasaan, dan kepedulian terhadap pencapaian.
Pendidikan di Indonesia sangat memerlukan transformasi kepemimpinan yang fundamental dan cepat selaras dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pentingnya kepemimpinan yang transformasional dalam pendidikan menjadi prioritas untuk meningkatkan kinerja sekolah / perguruan tinggi dan kualitas pendidikan nasional. Kepemimpinan transformasional adalah gaya kepemimpinan yang menekankan menginspirasi dan memotivasi pengikut untuk melampaui kepentingan visioner demi kebaikan yang lebih besar. Kepemimpinan transformasional ditandai oleh empat elemen utama: pengaruh ideal, motivasi inspirasional, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual. Dengan mewujudkan elemen-elemen tersebut, pemimpin sekolah / perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mempromosikan keterlibatan, pembelajaran, dan pencapaian bagi semua pemangku kepentingan.
Kepemimpinan transformasional dalam pendidikan melakukan pemecahan masalah dengan menghubungkan perencanaan sampai ke pelaksanaan pendidikan konteks dunia nyata dengan cara berbasis faktual dan relasional. Beberapa alasan mengapa kepemimpinan transformasional dalam pendidikan sangat penting:
- Mengatasi Tantangan: Pemimpin pendidikan memainkan peran penting dalam mengatasi tantangan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan, seperti anggaran yang tidak mencukupi, rasio siswa-guru yang besar, kemiskinan siswa, dan kesehatan siswa yang buruk. Mereka mengadopsi pendekatan berbasis solusi yang menghargai inovasi dan inklusivitas, yang mengarah pada perubahan dan pertumbuhan positif.
- Inovasi dan Adaptasi: Kepemimpinan pendidikan mendorong inovasi dalam metodologi pembelajaran dan membantu institusi beradaptasi dengan keadaan yang berubah, seperti respons terhadap digitalisasi Pendidikan dan penerapan teknologi kecerdasan buatan.
- Pemrograman Pendidikan yang Ditingkatkan: Pemimpin pendidikan fokus pada peningkatan program pendidikan dengan menetapkan standar kurikulum, menyiapkan anggaran, dan menerapkan kebijakan di seluruh sekolah / perguruan tinggi. Mereka juga bekerja pada upaya membangun tim dan restrukturisasi untuk mendorong perubahan positif.
- Budaya Kerja Positif yang Menginspirasi: Kepemimpinan pendidikan yang efektif menginspirasi budaya kerja positif yang mendorong kolaborasi, inklusivitas, dan visi masa depan yang jelas. Ketika guru dan staf bekerja di lingkungan yang mendukung, siswa mendapat manfaat dari pengalaman pendidikan yang lebih memperkaya.
- Pengembangan dan Advokasi Kebijakan: Pemimpin pendidikan sering terlibat dalam pengembangan kebijakan dan masalah reformasi, mengadvokasi sistem pendidikan yang lebih baik di tingkat lokal, negara bagian, atau nasional.
Salah satu tindakan paling berdampak yang dapat diambil oleh seorang pemimpin sekolah / perguruan tinggi adalah menumbuhkan iklim sekolah/ perguruan tinggi yang positif. Pemimpin transformasional dapat mencapai ini dengan memodelkan nilai, keyakinan, dan perilaku yang ingin mereka lihat di komunitas civitas akademika. Melalui pengaruh yang ideal, para pemimpin ini mencontohkan standar etika yang tinggi, integritas, dan komitmen terhadap visi sekolah / perguruan tinggi, sehingga menciptakan suasana kepercayaan dan kolaborasi.
Selain itu, pemimpin transformasional dapat meningkatkan keterlibatan dengan memberikan motivasi yang menginspirasi. Dengan mengartikulasikan visi yang jelas dan menarik, mereka dapat menginspirasi dan memberi energi kepada staf dan siswa untuk bekerja menuju tujuan bersama. Tujuan bersama ini membantu menyatukan komunitas sekolah / perguruan tinggi dan menciptakan rasa memiliki, yang sangat penting untuk mempromosikan keterlibatan dan meningkatkan prestasi akademik.
Memberdayakan Guru / Dosen
Tindakan signifikan lainnya yang dapat diambil oleh para pemimpin sekolah / perguruan tinggi untuk meningkatkan keterlibatan, pembelajaran, dan prestasi adalah pemberdayaan guru / dosen. Pemimpin transformasional memahami bahwa guru / dosen adalah pendorong utama keberhasilan siswa, dan mereka secara aktif berusaha untuk mendukung pertumbuhan profesional mereka.
Dengan memberikan stimulasi intelektual, pemimpin sekolah / perguruan tinggi dapat menantang guru / dosen untuk berpikir kreatif dan kritis tentang praktik instruksional mereka. Ini termasuk mendorong guru / dosen untuk terlibat dalam pengembangan profesional yang berkelanjutan, praktik reflektif, dan pemecahan masalah kolaboratif. Ketika guru / dosen merasa didukung dalam pertumbuhan profesional mereka, mereka lebih mungkin untuk terlibat, inovatif, dan efektif di kelas.
Selain itu, pemimpin transformasional menunjukkan pertimbangan individual dengan mengenali kekuatan, kebutuhan, dan aspirasi unik dari setiap guru / dosen. Dengan menawarkan dukungan dan umpan balik yang dipersonalisasi, mereka dapat membantu guru / doseb mengatasi tantangan, membangun kepercayaan diri, dan pada akhirnya meningkatkan efektivitas pengajaran mereka.
Menciptakan Budaya Peningkatan Berkelanjutan
Salah satu tindakan paling berdampak yang dapat diambil oleh para pemimpin sekolah / perguruan tinggi untuk meningkatkan keterlibatan, pembelajaran, dan pencapaian adalah menumbuhkan budaya perbaikan berkelanjutan. Ini membutuhkan pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi area untuk pertumbuhan dan menerapkan intervensi yang ditargetkan untuk mengatasi area ini.
Pemimpin transformasional dapat memfasilitasi peningkatan berkelanjutan dengan membangun sistem untuk pengambilan keputusan berbasis data. Dengan mengumpulkan, menganalisis, dan menindaklanjuti data yang terkait dengan kinerja dan keterlibatan siswa, pemimpin sekolah / perguruan tinggi dapat mengidentifikasi area kekuatan dan kelemahan, menetapkan tujuan strategis, dan memantau kemajuan menuju tujuan ini. Pendekatan berbasis data ini memungkinkan sekolah / perguruan tinggi untuk membuat keputusan yang tepat tentang alokasi sumber daya, pengembangan profesional, dan desain kurikulum, memastikan bahwa upaya mereka difokuskan pada area dengan potensi dampak terbesar.
Selain itu, pemimpin transformasional dapat mempromosikan budaya perbaikan berkelanjutan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam prosesnya. Ini termasuk melibatkan guru, siswa, dan orang tua dalam pengambilan keputusan dan menciptakan peluang agar suara mereka didengar. Dengan menumbuhkan rasa kepemilikan bersama dan tanggung jawab atas keberhasilan sekolah / perguruan tinggi, para pemimpin dapat memobilisasi upaya kolektif komunitas sekolah perguruan tinggi menuju peningkatan berkelanjutan dan tingkat pencapaian yang lebih tinggi.
Pemimpin transformasional dalam pendidikan perlu menyeimbangkan beberapa dimensi. Untuk memahami dimensi ini, kami berbicara dengan sejumlah pemimpin transformasi , penasihat mereka, dan rekan-rekan mereka, yang mewakili sistem pendidikan yang berbeda pada tahap perkembangan yang berbeda . Pemimpin transformasional akan memperhatikan tiga langkah yang sangat strategis dalam mencapai tujuan:
- Berpikir kedepan: Menetapkan visi dan strategi untuk sistem pendidikan yang berkualitas.
- Memperkokoh kekuatan internal: Mengelola sistem pendidikan dan membangun kemampuan di antara pemangku kepentingan internal.
- Membina hubungan sinergitas: Mensinergikan dan melibatkan pemangku kepentingan di dalam dan di luar sistem pendidikan untuk berkontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan.
- membangun visi sekolah / perguruan tinggi dan menetapkan tujuan,
- menciptakan budaya sekolah /perguruan tinggi yang produktif,
- memberikan stimulasi intelektual,
- menawarkan dukungan individual,
- Pemodelan praktik terbaik dan nilai-nilai organisasi yang penting
- menunjukkan ekspektasi kinerja tinggi,
- mengembangkan struktur untuk mendorong partisipasi dalam keputusan pimpinan.
Standar 1. Maksud dan Arah Pendidikan (Purpose and Direction).
Standar 2. Tata Kelola Pendidikan dan Kepemimpinan (Governance and Leadership).
Standar 3. Pengajaran dan Akses pembelajaran (Teaching and Assessing for Learning).
Standar 4. Sumber daya dan sistem pendukung pendidikan (Resources and Support System).
Keempat standar tersebut sangat dominan dalam menentukan peningkatan kinerja sekolah / perguruan tinggi dan peningkatan kualitas pendidikan.
